Jumat, 13 April 2018

Subjek&Objek hukum serta Jenis Jenis Hukum Di Indonesia

A.Kata Pengantar
Puji syukur kepada tuhan yang maha esa yang telah memberikan nikmat sehat walafiat sehingga saya mampu menyelesaikan penulisan ini.Dalam Penulisan ini saya akan membahas subjek&objek hukum serta Jenis Jenis hukum di Indonesia.
Dalam Penulisan ini saya akan mebahas
-Penjelasan Mengenai Subjek&Objek Hukum
-Penjelasan Mengenai: - Hukum Perdata dan Pidana
                                      - Hukum Perikatan
                                      - Hukum Perjanjian
                                      - Hukum Dagang

1.Subjek Dan Objek Hukum

Pengertian subjek hukum
Pengertian subjek hukum secara umum adalah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/kewajiban/ kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu. Pada dasarnya, subjek hukum terbagi menjadi dua, yaitu orang dan badan hukum.Sejak seseorang dilahirkan, maka sejak itu pula ia dianggap sebagai subjek hukum. Bahkan, janin yang masih ada dalam kandungan bisa dianggap sebagai objek hukum jika ada kepentingan yang mengkehendakinya.Orang yang menjadi subjek hukum akan memperoleh statusnya sejak ia dilahirkan, baru setelah kematiannya maka ia dianggap berhenti menjadi subjek hukum.Badan hukum adalah suatu badan usaha yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada kenyataan persyaratan yang dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum, yakni badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, meskipun dalam menggunakan hak dan pelaksanaan kewajibannya dilakukan atau diwakilkan oleh pengurusnya.
Contoh badan hukum yang menjadi subjek hukum adalah badan-badan hukum yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, CV, Firma, dan lain-lain sebagainya.



Pengertian objek hukum 
Pengertian objek hukum secara umum ialah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum di mana segala hak dan kewajiban serta kekuasaan subjek hukum berkaitan di dalamnya. Sebagai contoh, misalnya benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat memperolehnya membutuhkan pengorbanan terlebih dahulu. 
Hal pengorbanan dan prosedur perolehan benda-benda tersebut inilah yang menjadi sasaran pengaturan hukum dan merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban subjek hukum yang bersangkutan sehingga benda-benda ekonomi tersebut menjadi subjek hukum. 
Benda-benda nonekonomi tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum, karena untuk memperoleh benda-benda tersebut tidak memerlukan pengorbanan mengingat benda-benda tersebut diperoleh secara bebas. Akibatnya, dalam hal ini tidak ada yang perlu diatur oleh hukum. 
Karena itulah, maka benda-benda nonekonomi tidak dianggap sebagai subjek hukum. contoh benda-benda nonekonomi misalnya adalah sinar matahari, air hujan, hembusan angin, udara yang kita hirup sehari-hari, aliran air di daerah pegunungan yang terus mengalir melalui pegunungan dan saluran-saluran air. 
Untuk memperoleh semua itu, kita tidak perlu membayar atau mengeluarkan pengorbanan apapun juga. Mengingat jumlahnya yang terbatas dan selalu ada. Lain halnya dengan benda-benda ekonomi yang jumlahnya terbatas dan tidak selalu ada, sehingga untuk memperolehnya dibutuhkan pengorbanan tertentu, umpamanya melalui pembelian, pembayaran imbalan dan sebagainya, seperti misalkan : 
Untuk dapat memperoleh air di kota-kota besar, maka kita harus berlangganan dan tentunya selalu membayar untuk biaya pemakaiannya. 
Demikian juga halnya untuk pembayaran aliran listrik, telepon, dan lain-lain.

Pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum hanyalah subyek hukum, dan yang termasuk kategori subyek hukum adalah:
1. manusia (orang/persoon);
2. badan usaha yang berbadan hukum (rechtpersoon); dan
3. jika keperluannya menghendaki maka janin yang masih didalam kandunganpun dapat dikategorikan sebagai subyek hukum.
Sedangkan obyek hukum dapat dikatakan sebagai lawan dari subyek hukum, karena obyek hukum merupakan segala sesuatu yang dapat di hak-i oleh subyek hukum. Dengan demikian jelas kategorinya bahwa yang memiliki hak dan kewajiban mestilah itu subyek hukum dan yang dapat dikenai hak atasnya pastilah obyek hukum.
Di dalam kehidupan nyata keseharian perihal subyek hukum menjadi seolah tak berbatas tegas dengan obyek hukum. Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban dalam satu kesatuan, yang artinya dimana ada hak maka disana ada kewajiban demikian sebaliknya, namun kenyataannya seringkali terlihat dan terdengar bahwa ada orang-orang yang dengan sengaja mengubah status manusia yang semula subyek hukum menjadi obyek hukum, misalnya orang yang dipekerjakan dengan tidak memperoleh gaji bahkan disekap tanpa memperoleh hak-hak dasar seperti beribadah, makan dan minum (berada dibawah kekuasaan orang lain tanpa memiliki hak yang semestinya dimiliki).
Demikian juga halnya dengan aktivitas menjual manusia dengan segala cara, bentuk dan motivasi (ini termasuk menurunkan derajat manusia yang semula subyek hukum menjadi obyek hukum). Lebih memprihatinkan lagi adalah jika ada orang-orang yang secara sadar memperdagangkan atau menawarkan dirinya sendiri. Bukankah ini semua berarti telah mengubah kedudukan makhluk yang semula diangkat dan dimuliakan oleh Tuhan Penguasa semesta menjadi makhluk yang sangat rendah dan hina yaitu sederajat dengan obyek hukum lain seperti benda pada umumnya dan binatang.
Orang-orang yang secara sadar telah mengambil alih kewenangan Tuhan yaitu memuliakan manusia sebagai subyek hukum dengan melekatkan padanya hak dan kewajiban menjadi tidak memiliki salah satunya, maka tentulah konsekuensinya adalah siap “berperang” dengan Tuhan Yang maha Rahman dan Rahim. Wallahu a’lam

2.Jenis Jenis Hukum Di Indonesia
A.Hukum Perdata Dan Pidana
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang memiliki implikasi secara langsung pada masyarakat secara luas (umum), dimana apabila suatu tindak pidana dilakukan, berdampak buruk terhadap keamanan, ketenteraman, kesejahteraan dan ketertiban umum di masyarakat.

Hukum perdata bersifat privat yang menitikberatkan dalam mengatur mengenai hubungan antara orang perorangan (perseorangan). Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata hanya berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat.

Pengertian Hukum Pidana Menurut Para Ahli
Prof. Dr. W.L.G. Lemaire, yang dikutip oleh Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 2), memberikan definisi hukum pidana sebagai berikut:

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

Selain itu, Moeljatno, yang dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-prinsip Hukum Pidana, memberikan definisi hukum pidana sebagai berikut:

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.

C.S.T. Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia(hal. 257) juga memberikan definisi hukum pidana, yaitu:

Hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

Berdasar pada definisi-definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana merupakan ketentuan yang mengatur tindakan apa yang tidak boleh dilakukan, dimana saat tindakan tersebut dilakukan terdapat sanksi bagi orang yang melakukannya. Hukum pidana juga ditujukan untuk kepentingan umum.

Pengertian Hukum Perdata Menurut Para Ahli

Selanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai hukum perdata. Prof. Subekti, S.H.dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 9) menyatakan bahwa hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Soal pembagian hukum perdata, lebih lanjut Subekti menyatakan antara lain bahwa (hal. 16-17):
Hukum perdata dibagi dalam empat bagian yaitu:

1. Hukum tentang diri seseorang, memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

2. Hukum Keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu: perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.

3. Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang.

4. Hukum Waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, hukum waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

Sementara itu, C.S.T. Kansil dalam buku yang sama[1] juga menerangkan mengenai definisi dari hukum perdata, yaitu:

Rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Apabila ditarik kesimpulan dari penjabaran definisi tersebut di atas, hukum perdata pada intinya mengatur tentang kepentingan perseorangan dan hubungan hukumnya dengan orang lain.

Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Sehingga pada dasarnya, hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, misalnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yangmemiliki implikasi secara langsung pada masyarakat secara luas (umum), dimana apabila suatu tindak pidana dilakukan, berdampak buruk terhadap keamanan, ketenteraman, kesejahteraan dan ketertiban umum di masyarakat.

Hukum Pidana sendiri bersifat sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) untuk menyelesaikan suatu perkara. Karenanya, terdapat sanksi yang memaksa yang apabila peraturannya dilanggar, yang berdampak dijatuhinya pidana pada si pelaku. Penjelasan selengkapnya tentang ultimum remedium dapat Anda simak Arti Ultimum Remedium.

Berbeda dengan hukum pidana, hukum perdata sendiri bersifat privat, yang menitikberatkan dalam mengatur mengenai hubungan antara orang perorangan, dengan kata lain menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa akibat dari ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per) hanya berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat, dan tidak berakibat secara langsung pada kepentinga. 

B.Hukum Perikatan 

Menurut para sarjana pengertian perikatan diartikan berbeda-beda, yaitu: 

1. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. Hukum perikatan ialah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam lingungan hukum kekayaan. 

2. Menurut Prof. Subekti, S.H. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain. 

3. Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H. Perikatan ialah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan. 

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksudkan dengan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. 


Macam-macam Hukum Perikatan

Perikatan bersyarat (Pasal 1253-1267 KUHPer) 

Perikatan Bersyarat mengandung arti bahwa suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyarat terdiri dari: 

1. Perikatan dengan syarat tangguh. Ialah perikatan lahir jika peristiwa tersebut telah terjadi pada detik terjadinya peristiwa tersebut (1263 KUHPer). 

2. Perikatan dengan suatu syarat batal. Ialah perikatan yang sudah lahir akan berakhir atau batal jika peristiwa tersebut terjadi. Perikatan juga batal apabila (1). Syarat itu bertentangan dengan susila atau yang dilarang UU. (2). Pelaksanaan digantungkan pada kemauan debitur (Pasal 1256 KUHPer) 

Perikatan dengan ketetapan waktu (Diatur dalam Pasal 1268-1281 KUHPer). 

Perikatan dengan ketetapan waktu ialah perikatan yang hanya menangguhkan pelaksanaannya atau lama waktu berlakunya suatu perikatan. 

Perikatan mana suka (alternatif) 

Dalam perikatan mana suka, si debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tapi ia tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang lainnya (Pasal 1272 KUHper). 

Perikatan tanggung menanggung 

Jika dalam suatu perjanjian secara teas kepada masing-masing pihak diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang membebaskan pihak yang berutang. 
Misalnya, dalam Firma, jika salah satu pihak dalam firma tersebut utang kepada bank atas nama firma, maka semua anggota yang terdapat dalam firma akan menanggung utang dari pihak yang berutang kepada bank tadi (tanggung-renteng). 

Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi 

Pada hakekatnya perikatan ini tergantung pada kehendak kedua belah pihak, tentang memenuhi prestasi (kewajiban yang diperjanjikan). 

Perikatan dengan suatu ancaman hukuman 

Perikatan ini bertujuan untuk mecegah jangan sampai orang (si berhutang/kreditur) melalaikan kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah tertentu (uang), yang merupakan pembayaran kerugian atas wanprestasi yang sejak semula ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuta perjanjian itu. 

Sumber-sumber Perikatan 
Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUHPer), terdiri dari: 

1. Perjanjian bernama,yakni perjanjian yang sudah ditentukan dan diatur dalam Perpu/UU. Misalnya: jual-beli, sewa-menyewa. 

2. Perjanjian tidak bernama, yakni perjanjian yang belum ada dalam UU. Misalnya: leasing, dsb. 

Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang (Pasal 1352 KUHPer) 

1. Undang-undang saja (1352 KUHPer), contohnya: hak numpang pekarangan. 

2. Undang-undang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUHPer), contohnya: perbuatan yang halal (1354 KUHPer) dan perbuatan yang melawan hukum (1365 KUHPer). 
Hapusnya Perikatan 

Menurut Pasal 1382 KUHPer, hapusnya perikatan terjadi karena: 

· Pembayaran. Pelunasan berupa prestasi dalam perjanjian (Pasal 1382 -1403 KUHPer) 

· Penawaran pembayaran diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. Diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPer, jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan penawaran pembayaran tunai dengan perantaraan notaris atau juru sita, jika si berpiutang menolaknya, maka si berutang menitipkan uang atau barangnya kepada Paniter Pengadilan Negeri untuk disimpan. Maka hal ini akan membebaskan si berutang dan berlaku sebagai pembayaran. 

· Pembaharuan Utang (novasi). Pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan perikatan yang lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru (Subekti, 2003, hlm 156) 

· Perjumpaan utang (kompensasi/timbal balik). Pencampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul apda 1 orang(1436 KUHPer). Pencampuran yang terjadi pada diri debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. 

· Pembebasan utang. Suatu perbuatan hukum di mana kreditur dengan sukarela membebaskan/melepaskan haknya dari debitur dari segala kewajibannya (1438-1443 KUHPer). 

· Musnahnya barang yang terutang (1444-1445 KUHPer). Barang yang menjadi oyek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diapa-apakan. 

· Pembatalan. Hapusnya perikatan karena pembatalan diatur dalam Pasal 1446 KUHPer, disebutkan pembatalan perikatan apabila: (a). Perikatan itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, (b). Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan dan penipuan. 

· Berlakunya suatu syarat batal. Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatau kembali pada semula, seolah-olah tidak terjadi perikatan. 

C.Hukum Perjanjian
Menurut para sarjana:

1. Menurut Prof. Subekti, S.H. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seseorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.

2. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, di mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan seuatu hal.

3. Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H. Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Sedangkan menurut KUHPer Pasal 1313, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Asas-asas Perjanjian


1. Sistem terbuka. Asas ini mempunyai arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga asa kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPer). 

2. Bersifat pelengkap. Artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang mebuat perjanjian itu menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari undang-undang. 

3. Konsensualisme . Artinya bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat syahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPer). 

4. Kepribadian. Mempunyai arti bahwa, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Menurut Pasal 1315 KUHPer, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.


Syarat-syarat Syahnya Perjanjian


1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu. 

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian itu. Pada dasarnya, setiap orang yang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal 1329 KUHPer) 

3. Adanya suatu hal tertentu. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dan dapat ditentukan 

4. Adanya suatu sebab yang halal 

Menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang (lihat Pasal 1337 KUHPer).

Jenis-jenis Perjanjian


1. Perjanjian timbal-balik (hak dan kewajiban)
2. Perjanjian sepihak (menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja)

3. Perjanjian cuma-cuma (menimbulkan keuntungan pihak lain)

4. Perjanjian atas beban (kedua prestasi ada hubungan hukum)

5. Perjanjian konsensuil (kesepakatan antar 2 pihak)

6. Perjanjian riil (kesepakatan disertai penyerahan nyata barangnya)

7. Perjanjian bernama (diatur UU) dan tak bernama (tak diatur UU)


Wanprestasi

    
Dalam hukum perikatan dikenal adanya prestasi, yaitu yang dimaksud dengan prestasi ialah kewajiban yang harus dipenuhi tiap-tiap pihak sesuai dengan isi perjanjian dan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. 


Wanprestasi berarti kelalaian tidak menepati kewajibannya dalma perjanjian. Akibat yang ditimbulkan dari wanprestasi ini bisa menimbulkan kerugian pada kreditur. Maka akan ada sanksi bagi debitur antara lain ada 4 sanksi, yaitu: 

1. Debitur harus mengganti kerugian yang diderita kreditur 

2. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian 

3. Peralihan resiko pada debitur sejak terjadinya wanprestasi 

4. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim.


Hubungan Perikatan dengan Perjanjian


Menurut Prof. Subekti, perkataan “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Perikatan lebih luas dari perjanjian, karena perikatan itu dapat terjadi karena:
1. Perjanjian

2. Undang-Undang

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antara perjanjian dengan perikatan mempunyai hubungan, di mana perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan sumber terpenting dalam perikatan.


D. Hukum Dagang

Hukum dagang merupakan sebuah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang ialah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagai hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya ialah kebiasaan diantara mereka yang timbul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Bilademikian adanya, ketentuan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata adalah lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD ialah lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Sumber Hukum Dagang

Sumber-sumber hukum dagang ialah tempat dimana bisa didapatkan peraturan-peraturan mengenai Hukum Dagang. Beberapa sumber Hukum Dagang yakni sebagai berikut ;

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHD)
KUHD mengatur berbagai perikatan yang berkaitan dengan perkembangan lapangan hukum perusahaan. Sebagai peraturan yang sudah terkodifikasi, KUHD masih terdapat kekurangan dimana kekurangan tersebut diatur dengan sebuah peraturan perundang-undangan yang lain.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Sesuai pasal 1 KUHD, KUH Perdata menjadi sumber hukum dagang sepanjang KUHD tidak mengatur hal-hal tertentu dan hal-hal tertentu tersebut diatur dalam KUH Perdata khususnya buku III. Dapat dikatakan bahwa KUH Perdata mengatur sebuah pemeriksaan secara umum atau untuk orang-orang pada umumnya. Sedangkan KUHD lebih bersifat khusus yang ditujukan untuk kepentingan pedagang.

3. Peraturan Perundang-Undangan
Selain KUHD, masih terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mengatur Hukum Dagang, diantaranya yaitu sebagai berikut :
UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT)
UU No 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
UU No 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha
UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

4. Kebiasaan
Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus dan sudah diterima oleh masyarakat pada umumnya serta pedagang pada khususnya, bisa digunakn juga sebagai sumber hukum pada Hukum Dagang. Hal ini sesuai dengan pasal 1339 KUH Perdata bahwa perjanjian tidak saja mengikat yang secara tegas diperjanjikan, tetapi juga terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan perjanjian tersebut. Contohnya tentang pemberian komisi, jual beli dengan angsuran, dan lain sebagainya.

5. Perjanjian yang dibuat para pihak
Berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata disebutkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam hal ini, persetujuan, perjanjian ataupun kesepakatan memegang peranan bagi para pihak. Contohnya yaitu dalam pasal 1477 KUH Perdata yang menentukan bahwa selama tidak diperjanjikan lain, maka penyerahan terjadi di tempat dimana barang berada pada saat terjadi kata sepakat. Misalkan penyerahan barang diperjanjikan dengan klausula FOB (Free On Board) maka penyerahan barang dilaksanakan ketika barang sudah berada di atas kapal.

6. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional diadakan dengan tujuan supaya pengaturan tentang persoalan Hukum Dagang bisa diatur secara seragam oleh masing-masing hukum nasional dari negara-negara peserta yang terikat dalam perjanjian internasional tersebut. Untuk bisa diterima dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka perjanjian internasional tersebut harus diratifikasi oleh masing-masing negara yang terikat dalam perjanjian internasional tersebut.Macam perjanjian internasional yaitu sebagai berikut :
Traktat yaitu perjanjian bilateral yang dilakukan oleh dua negara saja. Contohnya traktat yang dibuat oleh Indonesia dengan Amerika yang mengatur tentang sebuah pemberian perlindungan hak cipta yang kemudian disahkan melalui Keppres No.25 Tahun 1989
Konvensi yaitu suatu perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara. Contohnya yaitu Konvensi Paris yang mengatur tentang merek.
Ruang Lingkup Hukum Dagang

Adapun ruang lingkup hukum dagang yaitu sebagai berikut :

1. Kontrak Bisnis.
2. Jual beli.
3. Bentuk-bentuk Perusahaan.
4. Perusahaan Go Public dan Pasar Modal.
5. Penanaman Modal Asing.
6. Kepailitan dan Likuidasi.
7. Merger dan Akuisisi.
8. Perkreditan dan Pembiayaan.
9. Jaminan Hutang.
10. Surat Berharga.
11. Perburuan.
12. Hak atas Kekayaan Intelaktual.
13. Anti Monopoli
14. Perlindungan Konsumen.
15. Keagenan dan Distribusi.
16. Asuransi.
17. Perpajakan.
18. Penyelesaan Sengketa Bisnis.
19. Bisnis Internasional.
20. Hukum Pengangkutan (Darat, Laut, Udara dan Multimoda).

Kedudukan Hukum Dagang

Dengan semakin Pesatnya perkembangan Hukum Dagang yang kian meningkat tersebut memicu berbagai pihak untuk menciptakan sebuah pengaturan yang tepat supaya dapat mengikuti perkembangan dagang yang sangat dinamis hingga pada akhirnya terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Tapi terdapat pihak yang berpendapat bahwa sekarang ini KUH Dagang dan KUH Sipil sudah tidak tepat pada tempatnya. Hal tersebut disebabkan karena hukum dagang relatif sama dengan hukum perdata. Terlebih lagi bila ditelisik lebih dalam, dagang bukanlah suatu pengertian hukum melainkan pengertian yang berasal dari perekonimian.

Contoh Hukum Dagang

Ada seorang pengusaha sepatu lokal yang memberi nama produk yang mereka hasilkan dengan nama merek terkenal. Hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak angka penjualan karena merek tersebut sebenarnya yaitu sebuah brand internasional yang sudah sangat terkenal.

Mungkin memang sepatu produk lokal tersebut akan lebih laku tapi bila hal tersebut terendus oleh pihak perusahaan resmi merek tersebut maka pengusaha lokal tersebut dapat dikenai sangsi pidana dan jelas melanggar pasal 90 undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merk. Jadi lebih menciptakan produk dan menciptakan brand baru yaitu jauh lebih baik dibandingkan harus berurusan dengan hukum.

Demikian Penulisan dari saya apabila ada kesalahan dalam penulisan mohon dimaafkan sekian dan terimakasih.

sumber:
-http://www.gurupendidikan.co.id/hukum-dagang-pengertian-sumber-ruang-lingkup-dan-kedudukan-beserta-contohnya-secara-lengkap/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar